Minggu, 14 September 2014

Cerpen Anak Sekolah

SEBATAS RASA UNTUK KITA

Ingin ku berlari jauh
Namun aku tak mampu
Bersembunyi darimu
Selaluku tepis bayangan wajahmumu
Kubiarkan semua apa adanya
Aku tunggu ketulusanmu
Walau harus selamanya
Aku memendam rindu. . .
Mungkin itulah sebuah curahan hatiku untuk saat ini, yang merasakan kesedihan karena cinta . Padahal ini bukan yang pertama kali aku merasakan cinta. Mencintai dia, yang mempunyai saudara kembar yang membenciku. Ya, sosok yang aku cintai itu mempunyai saudara kembar. Namanya Angga dan Anggi. Anggalah yang aku cintai. Dia telah berhasil menarik hati ini, untuk mencintainya. Sedangkan Anggi. Huft, dari tatapannya aja, aku sudah bisa menilai, kalau dia membenciku. Entah aku sendiri juga nggak tau, apa salahku.
Sebatas Rasa Untuk Kita
Angin berhembus, menerpa wajahku dan menusuk tubuhku yang dibalut jilbab. Aku terus terduduk di rumput, sambil menatap gunung yang menjulang tinggi dari kejauhan mataku.
Pikiranku teringat pada kenangan masa SMP dulu.
Sampai di perpus. . .
“Nil? Loe dicariin orang tuh!” lapor Icha, sahabatku.
“Siapa?” tanyaku cuek.
“Hmm… siapa ya?” Icha pura-pura mikir, sambil menggodaku. Aku mengangkat satu alis.
Icha melihat sesuatu. “Sama dia!” tunjuk Icha pada Angga, yang baru menginjakkan kaki di perpus. Aku bengong. Benarkah yang dikatakan Icha ini? Angga menatapku sambil tersenyum. Hatiku entah mengapa, jadi cenat-cenut. Akhir-akhir ini, semenjak sering bertemu Angga selalu perhatian dan rajin ke perpus. Aku cuek, tidak mengubris. Toh pekerjaanku sebagai anggota perpus, masih menumpuk.
“Aku bantuin ya?” tawar Angga, dengan senyum tulus. Ia sedikit salting.
Tak kuat menahan senyum, akhirnya aku tersenyum juga buat dia. “Up to you.” Jawabku.

Dan benar saja. Angga membantuku. Ia tata rapih buku-buku yang berantakkan. Aku tersenyum melihatnya.
“Cie… cie…” goda Faris. Sahabat Angga. Aku dan Angga masa bodo. Memang persamaan kita disekolah itu, sama-sama cuek. Namun, walau Angga cuek, tapi banyak saja cewek-cewek yang mendekatinya.
Aku tersadar, sambil tersenyum mengingat itu. Mataku tetap menatap pemandangan gunung di kejauhan. Pikiranku kembali teringat kenangan masa SMP.

Waktu itu, aku sakit di sekolah. Perutku sakit dan kepalaku terasa pusing. Akhirnya aku dibawa ke ruang uks, dirawat oleh anak PMR kelas delapan. Tiba-tiba datang salah satu anak PMR, bernama Sufi.
“Kak, dapat surat nih!” katanya sedikit menggoda.
“Dari siapa?” tanyaku. Keningku berkerut bingung.
“Sufi udah janji, sama orangnya, nggak bakal ngasih tau namanya ke kakak. Maaf ya kak!” terangnya.
Aku heran, namun langsung kubuka saja surat itu, dengan perasaan campur aduk.

Mengenalmu
Anugerah dalam hidupku
Memilikimu
Itu yang selalu ku harapkan
Membiarkanmu berlalu
Tanpa sepatah kata pun
Yang terucap dari bibirku
Adalah suatu kebodohan dihidupku
Karena telat bagiku menyadari
Kau sangat berarti di dalam hidupku
Hanya secercah penyesalan
Yang bisa ku rasakan
Disaat ku kehilanganmu
Dan menyadarinya…
Semoga kamu cepat sembuh…
Keningku berkerut lagi membaca surat itu. Namun aku terharu dengan kata-kata di surat ini. Aku menatap kearah jendela yang tidak tertutup gorden. Tiba-tiba sosok yang aku rindukan selama seminggu ini, muncul. Angga. Ya, dia sedang berjalan disitu. Mataku menatapnya, hingga dia menoleh dan menatapku. Tatapan yang sulit untuk dilukiskan. Aku gugup. Segera saja, ku tundukkan kepalaku. Dan sekarang aku merasa ia telah pergi. Hari-hari ini juga, aku merasa dia menjauh dan menghindariku. Setiap bertemu, dia selalu melempar pandangan kearah lain. Dia juga sudah jarang ke perpus. Ada apa ini? Kenapa dia berubah seperti itu?

Tapi, setiap aku kenapa-napa, dia masih menunjukkan sikap perhatiannya. Seperti aku sakit sekarang. Dia menghampiriku dan ikut membawaku ke UKS. Setelah itu, ia pergi entah kemana. Aku tertidur di UKS. Tiba-tiba aku merasa ada seseorang yang datang. Aku merasakan gerak-geriknya.
“Nggak tega juga, melihat kamu sakit begini. Kamu tau, aku memang cowok nggak jentel. Bertemu kamu aja, aku harus sembunyi-sembunyi. Aku harap kamu cepat sembuh ya. Aku bawakan sesuatu buat kamu!” Ucap seseorang itu, terdengar seperti suara cowok. Dia menyentuh keningku, dan langsung beranjak pergi. Mataku terbuka sedikit. Sungguh aku kaget. Aku tak menyangka. Ku kucek-kucek lagi penglihatanku. Namun itu nyata. Sosok itu adalah Anggi. Cirri-ciri fisiknyalah yang membuat ku yakin. Tatapanku beralih pada meja yang ada disampingku. Ada kantong plastik yang berisi makanan. Aku jadi bingung dibuatnya.
Hari-hari itu, kulalui dengan sebuah kebingungan. Namun, tiba-tiba aku tertampar oleh sebuah luka. Aku mendengar dari sahabatku, Angga sudah punya pacar. Sakit rasanya. Dari situ, entah ada rasa kecewa yang mendalam, hingga membuatku berniat untuk melupakannya dan melupakan rasa yang dulu memenuhi hatiku.
***

“Ukhti, Nila?” panggil adik kelasku, Zahra.
Aku menoleh ke asal suara. Seketika pikiranku buyar. “Madza?” tanyaku.
“Ukhti, mudifah!” jawabnya memberitahu.

Aku heran. Baru seminggu kemarin aku dijenguk, tapi sekarang di jenguk lagi. Ada apa gerangan? Ya. Aku memang melanjutkan studyku di sebuah Pondok Pesantren. Semua itu, dengan niat menuntut ilmu dengan mengharap ridho Allah dan untuk membahagiakan orang tuaku. Walau telah lama ditambah jauh. Tapi, tetap saja sebuah kenangan masa SMP masih teringat dibenakku.
“Oh, na’am. Syukron, Zahra!” balasku.

Zahra tersenyum. Aku segera bangun dari duduk. “Mudifah, aina?” tanyaku lagi.
“Masyroh.” Jawabnya.
Ternyata aku di jenguk di trimbun. Dengan langkah cepat, kuhampiri keluargaku disana.
***

Di samping kanan, dekat saung. Ada sebuah mobil. Tapi bukan mobil, yang biasa di pakai keluargaku. Mobil itu, merek kijang innova silver, bukan avanza silver.
“Nila!” panggil ayahku.
Aku tersenyum. “Ayah?” ku hampiri ayah dan mamaku. Ku cium punggung tangan mereka dan pipi mereka. “Kok cepat banget mudifahnya?” tanyaku, yang sedari tadi, keheranan.
“Ada yang mau bertemu kamu, sayang!” terang mamaku, sambil tersenyum misterius.
Keningku berkerut bingung. “Man, ma?”

Pintu mobil terbuka. Lalu keluarlah sosok Ibu dan Bapak paruh baya. Aku langsung mencium punggung tangan mereka. Mereka tersenyum ramah padaku.
“Kamu cantik sekali, nak!” puji sosok Ibu paruh baya itu.

Aku hanya bisa tersenyum. “Terima kasih, Bu!”
“Bu, Pak! Lebih baik kita duduk disini dulu, sambil menunggu Nila dan Angga berbicara.” Jelas ayahku, yang dibalas langsung dengan anggukkan mereka berdua.
Aku kaget bukan main, mendengar perkataan ayahku tadi.

Hah? Angga? Apakah aku salah dengar? Angga ada disini? Jadi, Ibu bapak ini, orang tuanya Angga… dan … Anggi?
“Assalammualaikum!” sapa Angga, yang baru keluar dari mobil.

Aku makin kaget, ketika Angga sudah ada dihadapanku. Satu tahun lebih kita tidak bertemu. Kini, kita bertemu di suasana berbeda. Angga terlihat lebih dewasa, memakai celana jeans hitam, dengan kemeja biru dongker.
“Wa… waalaikum salam.” Balasku gugup, sambil menunduk memainkan ujung kerudungku.
Angga tersenyum. “Kamu kaget ya, dengan kedatanganku ini. Aku ngerti kok. Karena suatu sebab, aku dan orang tuaku menemuimu disini.” Terangnya.
Aku mendongak. “Untuk apa?” tanyaku dengan suara lirih.
“Anggi.” Jawabnya singkat, namun mampu membuatku bagai tersengat aliran listrik.
***

Malu juga, berbicara dengan Angga di depan santri-santri yang juga sedang di jenguk oleh orang tuanya. Banyak yang ingin tau, sekedar bolak-balik, dan menatap. Aku risih. Lalu Angga mengajakku untuk bergabung dengan orang tua kita. Aku masih tertegun. Rasanya seperti mimpi Angga ada disini.
“Kamu kaget ya Nak, kami datang kesini?” ucap ayahnya Angga ramah. Aku hanya bisa tersenyum kikuk.
“Sayang, kali ini mama sama ayah, mengizinkan kamu untuk pulang.” Ucap ayahku.
“Pulang? Lho, memangnya kenapa, Yah?” tanyaku heran.
“Kami sama-sama sudah mengerti soal ini. Ini soal rasa, nak! Kamu sudah menanjak dewasa sekarang. Angga pun begitu. Wajar jika misalnya kamu sedikit berkorban untuk orang yang menyayangimu!” terang mamaku.
Sumpah. Aku benar-benar nggak mengerti dengan perkataan mama ini. Tanpa disuruh, mamanya Angga menjelaskan. Dan penjelasan ini, mampu membuatku menitikkan air mata.
***

Di rumah sakit, didalam kamar cempaka dua. Mataku terpaku pada satu titik. Anggi. Sosok yang dulu terlihat kuat, dewasa, dan ceria. Kini menjadi sebaliknya. Gerimis juga hati ini melihatnya.
“Kanker darah yang dideritanya, sudah stadium lanjut. Dokter hampir pasrah dengan kondisinya ini yang semakin parah. Kamu tau, dia selalu mengigau menyebut namamu.” Terang Angga, yang duduk di seberangku. Kini, mataku berani menatapnya, walau sebentar. Mataku kembali menatap Anggi yang terbujur lemah di ranjang rumah sakit.
“Benarkah yang dikatakan kamu ini, Angga? Sejujurnya, aku merasa Anggi membenciku.” Terangku.

Angga menggeleng kuat. “Tidak, Nil! Itu nggak benar. Anggi sebenarnya menyukaimu! Dia menyayangimu. Hanya saja, dia tidak tau, harus bagaimana menunjukkannya.”
Benarkah yang dikatakan Angga ini, Ya Allah! Ucapan Angga begitu meyakinkan. Tiba-tiba, jari jemari Anggi bergerak. Aku terkejut, namun lega.
“Nil… Nila…” lirih Anggi membuatku terkejut.
“Aku, disini Gi!” ucapku.

Mata Anggi melirik ke arahku. Ia tersenyum tulus. Hatiku bergetar. Ku balas senyuman itu. “Ma… ma… afkan… ak… ku…”
“Maaf? Untuk apa? Bagiku, kamu nggak pernah salah!” balasku, bingung.
“Ma… af. Jika se… la… ma… i… ni. Aku, mendiamimu! A… ku, men…yanyangimu, Nil!”

Hah? Anggi? Apa yang kamu katakan ini? Aku tak mampu berkata-kata lagi. Aku membisu.
“Wa… lau, ter… lambat ta… pi a…ku lega, Nil! Ma… ka… sih, u… dah mau nengok a… ku! Hhh…”
Grafik pendetak jantung, yang tadinya naik turun, kini berubah lurus beraturan. Itu adalah tanda, bahwa Anggi…
Ya Allah, aku mohon, izinkan Aku untuk melihat senyumannya lebih lama lagi! Aku mohon, kembalikan lagi nafas hidupnya, Tuhan!
Aku menangis. Baru kali ini, aku merasakan kehilangan. Walau sudah lama tak bertemu, Anggi tetap menjadi sebagian dari kisahku di masa SMP dulu. Ya Allah, ku mohon bahagiakanlah Dia di sisi-Mu!
***

Ku berjongkok di dekat pusara bernisan Anggi. Air mataku membulir. Disampingku, ada Angga yang dengan setia menemani. Kini tinggallah kami berdua yang menemani Anggi di rumah barunya.
“Kenapa kamu ninggalin aku, Gi! Kita belum lama berbicara, tapi kenapa kamu udah langsung ninggalin aku begitu saja. Aku belum sempat mengucapkan terima kasih sama kamu waktu di UKS itu! Tapi aku selalu berdoa buat kamu, supaya kamu bahagia disana!” Ku elus lembut nisan Anggi. Aku masih terisak.
“Nil… kita pulang yuk?” ajak Angga, yang sedari tadi diam saja melihatku terisak. Aku hanya bisa mengangguk pasrah.
“Kamu baik-baik disini ya, Gi! Kita harus pulang. Kita akan selalu berdoa untukmu!” ucap Angga. Suaranya terdengar berat.
***

“Nil?” panggil Angga dari belakang.
Sedari tadi, di perjalanan pulang, aku memang berjalan membelakangi Angga. Langkahku terhenti, ketika mendengar dia memanggilku. Aku menoleh. Kini tinggal jarak kira-kira sekitar satu meter yang membatasi kami.
“Ada apa?” tanyaku.
“Masih ingatkah kamu, dengan surat yang aku titipkan sama Sufi?”
Aku mengangguk. Sedikit terkejut mendengarnya. “Jadi, surat itu darimu?” tebakku, walau sangat yakin.

Angga mengangguk kuat. Ia terduduk di bangku yang ada di sampingnya. Kepalanya tertunduk. “Sudah lama, aku mencintaimu, Nil!” meluncurlah juga sebuah kalimat yang Angga pendam selama hampir dua tahun ini. Aku kaget bukan main. Tak menyangka, ternyata sosok yang mengajari aku jatuh cinta, juga mencintaiku.
“Maaf jika aku lancang dan baru mengatakannya sama kamu. Waktu itu, aku bimbang. Karena aku harus memilih diantara dua pilihan. Anggi yang semakin parah, atau cintaku. Aku sudah tau sejak lama, kalau Anggi menyukaimu. Walau dia tidak pernah melihatkannya. Buku diarynyalah yang memberitahuku. Disaat itu juga, aku mengalah. Kesembuhan Anggi dan kebahagiaan Anggilah yang aku utamakan, dari pada cintaku!” Terang Angga panjang lebar.

Aku terperangah mendengar penjelasan itu. “Lalu, kenapa kamu melampiaskannya dengan pacaran?” tanyaku akhirnya.
“Selama ini, aku tidak pernah pacaran, Nil! Tika hanyalah teman. Nggak lebih. Semua itu hanyalah gossip biasa.”
“Lalu, apa maumu sekarang?”
“Kejujuranmu.”
“Aku juga mencintaimu, Ga!” balasku akhirnya. Angga menatapku. Ia tersenyum mengembang. “Tapi aku nggak mau, cinta ini membawaku dalam kemaksiatan dan kesesatan.” Lanjutku.

Angga paham. “Sudah lama, aku memahamimu, Nil! Aku mencintaimu, karena Allah!”
“Dan karena Allah-lah, aku ingin tidak menjalin hubungan special denganmu!”
“Aku mengerti. Tapi satu hal yang harus kamu tau. Hati ni, untuk kamu!”

Aku terharu mendengarnya.
“Lalu bagaimana dengan cinta ini?” lanjut Angga.
“Kita tunggu sampai waktunya tiba. Aku yakin, kalau kita jodoh, pasti Allah akan mempersatukan kita.” Jawabku yakin.
Angga tersenyum dan mengangguk yakin. Kami percaya. Pasti, jika Allah berkehendak kami jodoh, kami akan disatukan. Dan pasti Allah akan selalu menuntun hati kami. Ya Allah, mungkin seperti inilah SEBATAS RASA UNTUK KITA


0 komentar:

Posting Komentar