Ayah, Anak serta Burung Gagak
Di suatu sore hari pada suatu desa
kecil, ada seorang yang sudah tua duduk bersama anak nya yang masih muda yang
baru saja diwisuda akan kelulusannya pada perguruan tinggi ternama di kota itu.
Mereka duduk berbincang-bincang di halaman sambil memperhatikan suasana di
sekitar mereka.
Saat mereka berbincang-bincang, datang
seekor burung hinggap di ranting pohon. Si ayah lalu menuding jari ke arah
burung itu sambil bertanya,
“Nak, apakah benda hitam itu?” “Burung gagak”, jawab si anak.
“Nak, apakah benda hitam itu?” “Burung gagak”, jawab si anak.
Ayah mengangguk-anggukkan
kepala, namun tak berapa lama kemudian, ayah mengulangi pertanyaan yang sama.
Si anak menyangka ayahnya kurang mendengar jawabannya tadi, lalu menjawab
dengan sedikit keras.
“Itu burung
gagak, Ayah!”
Tetapi
kemudian tak berapa lama si ayah kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama.
Si
anak merasa sedikit bingung dengan pertanyaan
yang sama diulang-ulang, lalu menjawab dengan lebih kuat,
“BURUNG
GAGAK!!” Si ayah terdiam seketika.
tidak
lama kemudian, sang ayah sekali lagi mengajukan pertanyaan
yang serupa hingga membuat si anak hilang kesabaran dan menjawab dengan
nada tinggi dan kesal kepada sang ayah,
“Itu gagak,
Ayah.” Tetapi agak mengejutkan si anak, karena si ayah sekali lagi membuka
mulut hanya untuk bertanya hal yang sama. Dan kali ini si anak benar-benar
hilang sabar dan menjadi marah.
“Ayah!!!
Saya tak tahu Ayah paham atau tidak. Sudah 5 kali Ayah bertanya soal hal
tersebut dan saya sudah juga memberikan jawabannya. Apa lagi yang Ayah mau saya
katakan????
Itu burung
gagak Ayah….., burung gagak”, kata si anak dengan nada yang begitu marah.
Kemudian si ayah lalu bangun menuju
ke dalam rumah meninggalkan si anak yang kebingungan.Kemudian si ayah keluar
dengan sebuah buku di tangannya. Dia mengulurkan buku itu kepada anaknya yang
masih geram dan bertanya-tanya. Ternyata buku tersebut adalah sebuah diary
lama.
Sambil
menunjuk pada suatu lembaran pada buku si ayah berkata, “Coba kau baca apa yang
pernah Ayah tulis di dalam diary ini,”.
Si anak
setuju dan membaca paragraf yang berikut.
“Hari ini
aku di halaman melayani anakku yang genap berumur lima tahun. Tiba-tiba seekor
gagak hinggap di pohon. Anakku terus menunjuk ke arah gagak dan bertanya,
“Ayah, apa
itu?” Dan aku menjawab, “Burung gagak.”
Walau bagaimana
pun, anakku terus bertanya soal yang serupa dan setiap kali aku menjawab dengan
jawaban yang sama. Sehingga 25 kali anakku bertanya demikian, dan demi rasa
cinta dan sayangku, aku terus menjawab untuk memenuhi perasaan ingin tahunya.
Aku berharap hal ini menjadi suatu pendidikan yang berharga untuk anakku
kelak.”
Setelah
selesai membaca paragraf tersebut si anak mengangkat muka memandang wajah si
Ayah yang kelihatan sayu. Si Ayah dengan perlahan bersuara,
“Hari ini Ayah baru bertanya kepadamu soal yang sama
sebanyak 5 kali, dan kau telah hilang kesabaran serta marah. Engkau telah
dewasa anakku. Asahlah kesabaranmu. karena itu adalah salah satu kunci meraih
suksesmu”
Lalu si anak
seketika memerah karena malu. Ia bersimpuh di kedua kaki ayahnya meminta maaf
atas apa yg telah ia perbuat.
Dalam hidup, kesabaran adalah salah satu point penting
untuk meraih kesuksesan. Anda ingin sukses dalam pendidikan, maka sabarlah
dalam belajar. Cernalah pelajaran satu demi satu. Ingin sukses dalam berkarir,
bersabarlah dalam menyumbangkan yang terbaik. Ingin sukses dalam kehidupan
dunia agar berhadiahkan surga? maka bersabarlah dalam mentaati perintah Allah
dan bersabar dalam beribadah kepadaNYa.
Tamat
Di sebuah desa terpencil hiduplah sebuah keluarga yang amat sederhana dalam kehidupannya. Keluarga tersebuat terdiri dari seorang ayah, ibu, dan tiga orang anak.Suatu hari ayahnya yang bernama Kartono sedang bekerja sebagai kuli bangunan, ia pun masih cukup muda yaitu berumur 30 tahun, sedangkan istrinya yang bernama Murti ini masih berumur 28 tahun. Mereka hidup berkeluarga karena di jodohkan oleh orangtua pada saat Murti berumur 18 tahun dan Kartono berumur 20 tahun. Selama sepuluh tahun mereka membina keluarga mereka dan mempunyai tiga orang anak. Anak mereka terdiri dari dua perempuan dan satu laki-laki, dua orang anaknya yang perempuan berumur 12 dan 13 tahun, sedangkan seorang anak laki-lakinya berumur 6 tahun.
Mereka hidup dalam kebahagiaan, hingga suatu ketika ada seorang tetangga yang baru pindah dari kota menuju ke desa tersebut. Ia adalah Marni seorang janda yang cantik bertubuh seksi dan tinggal di sebelah rumah Kartono. Saat Marni sedang melihat-lihat rumahnya banyak warga sekitar melihat janda itu, tak kecuali bapak-bapak yang melihatnya tanpa mengedipkan matanya. Hari sudah sore Kartono pun pulang dari pekerjaannya, karena mendengar ada seorang warga bary Kartono dan keluarganya ikut datang ke rumah Marni yang seorang janda tersebut. Tanpa di duga istrinya, Kartono pun ikut terperangkap dalam kecantikan dan keseksian seorang janda tersebut, Kartono langsung memainkan matanya untuk menarik perhatian seorang Marni. Setelah selesai mengunjungi warga baru tersebut, keesokan harinya teman Kartono yaitu Yanto datang menemui Kartono ke tempat kerja Kartono dan berkata “ wah Kartono, kamu pasti ingin cepat pulang nih?” “emang kenapa?” tanya Kartono, “ iya kan sebelah rumahmu kan ada janda seksi, cantik, bohai lagi, dan satu lagi dia sangat montok, hahaha.” saat mendengae hal itu teman-teman Kartono yang asik bekerja juga ikut tertawa. Saat itulah perasaan Kartono menjadi memihak kepada teman-temannya.
Keesokan
harinya, saat itu Kartono yang tidak bekerja hanya duduk santai di depan
rumahnya, sambil memainkan burung peliharaannya, dan saat Kartono memainkan
burung peliharaannya, Marni datang untuk mengantar makanan ke rumah Kartono.
Saat itulah badannya gemetar karena melihat tubuh seksi Marni yang hanya
memakai baju yang mini, dan celana yang mini. Dalam hati Kartono berkata “waduh
gila bener ni cewek cantik, seksi, andai saja dulu aku di jodohkan oleh orang
tuaku seperti ini aku tidak bakalan hidup seperti ini.” Pada saat itu suasana
di rumahnya sedang sepi istrinya bekerja di pasar dan anak-anaknya sedang
sekolah, saat itu pula pikirannya menjadi tidak benar, hantu yang menghampiri
Kartono membujuknya untuk membelai dan mengajaknya ke kamar. Kemudian Kartono
yang tidak bisa menahan hawa nafsunya membawa Marni untuk masuk ke rumahnya dan
berkata “ ayo masuk ke sini, runggu istri saya, soalnya kata istri saya apabila
neng datang ke sini istri saya mau mengatakan sesuatu kaepada neng.” kemudian Marni
pun menuruti perkataan Kartono. Selang waktu yang begitu lama Kartono semakin
tidak tahan dengan nafsunya yang begitu besar, akhirnya kejadian itu terjadi
Kartono mulai memperkosa Marni di rumahnya. Tidak lama itu istri Kartono
datang, dan melihat aksi bejadnya seorang suaminya yang di belanya selama
sepuluh tahun hilang dalam sekejap, karena nafsu birahinya yang begitu besar.
Istri Kartono menangis dan lari ke tempat keluarganya, karena mendengar hal itu
warga marah terhadap perilaku Kartono yang tidak senonong itu, dan akhirnya
Kartono tewas karena di pukuli oleh para warga yang menghakimi sendiri.
Kemudian mantan istri Kartono menikah lagi oleh seorang saudagar kaya yang
tinggal di desa tersebut , dan Marni di usir dari desa tersebut.
AKU DAN
CERITA
Mungkin sebuah cerita akan menjadi
kenangan yang mahal harganya dan jika di biarkan akan mudah untuk di lupakan.
begitu juga cerita yang akan ku ungkapkan berikut ini. Berawal dari putih
abu-abu dan masa ospek di salah satu sekolah yang tidak seberapa terkenal.
Entah dari mana dan siapa yang terlebih dahulu melihat tapi yang jelas aku tahu
bahwa dia yang berkaca mata hitam itu dan terlihat aneh orangnya teman
sekelasku, aku hanya berani menatapnya dari kejahuan dan tak berani menanyakan
siapa, dari mana atau Cuma sekedar menyapa dirinya. Hari itu pun akhirnya
berakhir, sampai suatu ketika pembagian kelas pun dibacakan dan di situlah aku
berpisah dengan sesosok itu dan awal dari segalanya. Di saat yang bersamaan
pula aku akhirnya mengetahui siapa namanya. Ku ingat dalam benakku namanya dan
dengan penuh penasaran aku bertekad ingin menjadi temannya. Dia yang bertubuh
tinggi, berkulit putih dan berlesung pipi. Seperti biasa aku hanya dapat
memandangi dirinya dari kejahuaan, sampai bertanya pada diri sendiri dapatkah
aku berkenalan bahkan menjadi temannya.
Sampai pada suatu ketika di hari
sabtu aku bersama teman-teman lainnya berangkat dengan kegembiraan menuju kolam
renang yang berdekatan dengan salah satu perguruan tinggi di lampung. Dan tanpa
di duga oleh siapa pun ketika aku pulang dari kolam renang aku bertemu dengan
dia dan temannya. Dalam perjalan suasana sunyi menyapa kami, aku berusaha untuk
dapat ngobrol dengan dia namun yang ku dapat hanya jawaban dingin dari bibir
merahnya bahkan kebisuan. Dari sanalah aku makin penasaran dengan dia, ketika
itu aku berfikir sepertinnya dia enak kalau di jadikan teman. Dengan modal
nekad aku meminta nomor hpnya kepada temannya, lalu aku menghubunginya dengan
menyembunyikan identitas sebenarnya hingga aku dapat berkenalan dengannya.
Namun peristiwa ini tidak berlangsung lama, dengan suatu kesepakatan dia tidak
akan marah dan tetap menjadi teman aku memberitahu identitasku sebenarnya. Tapi
walaupun begitu dia tidak langsung mengetahui aku siapa, karena salah satu ke
anehannya ia tidak hafal nama lengkap teman di sekelilingnya yang hanya ia tau
adalah nama panggilannya. mungkin ini jadi pelajaran buat aku juga bahwa kita
harus mengenal seseorang sedetail mungkin bukan hanya nama panggilan karena
nama panggilan bisa berubah-ubah.
Dari peristiwa itu berawallah
pertemanan di antara aku dan dia. Pertemanan yang berawal dari keisengan,
perasaan penasaran bahkan keistimewaan. Istimewa karena aku bertemu dan
berteman dengannya di luar dugaan dan kejadian yang aneh. Pertemanan yang
berusaha untuk saling membantu dan memotivasi satu sama lain untuk sukses
meraih impian di kemudian hari. Pertemanan yang tulus untuk saling berbagi satu
sama lain. Dia telah mewarnai kehidupanku dengan pandangan-pandangannya yang
bijak dan maju kedepan. Dari dia aku belajar untuk mau menerima kritikan dan
masukan, dari dia pula aku belajar untuk merencanakan sesuatu yang akan kita
kerjakan jauh kedepan. Aku sebetulnya orang yang tidaklah mudah untuk merubah
pola pikir, aku juga bukan orang yang mau terbuka dalam semua hal kepada
seseorang meskipun aku suka mendengarkan seseorang bercerita kepadaku. Aku dan
dia bisa di bilang bersahabat dari media yaitu hp, aku bercerita segalanya
dengannya lewat hp dan lebih sering sms dari pada telpon. Kami menghabiskan
waktu bercerita lewat tulisan dari bangun tidur sampai kami tertidur,
persahabatan yang indah ketika sebelum suatu kejadian terjadi di anatara kami.
Kejadian yang mungkin selalu di alami oleh pasangan sahabat. Masalah kecil yang
dapat merusah segelanya begitu juga pertemanan yang telah terjalin di atara
kami selama kurang lebih 1 tahun. Masalh itu adalah gosip yang mengatakan bahwa
aku mencintai sahabatku.
Setelah aku pikir-pikir semua itu
tidak benar karena aku nyaman dia menjadi sahabat yang selalu ada kalau
sahabatnya kesusahan tapi gosip itu timbul karena kecerobohan aku yang tidak
sengaja menyimpan smsnya dan keisengan teman-teman lain kepadaku dengan
menyimpulkan sesuatu yanaug tidak benar. Aku dan dia sama-sama tau siapa orang
yang di sukai atau dicintai. Rasanya tidak adil saja bagiku. Aku kehilangan
teman tempat bercerita, aku bahkan dijahui dan diperlakukan seolah-seolah aku
yang mau gosip itu terjadi olehnya, dia bahkan bersikap dingin, cuek dan bersikap
tidak mengenal diriku. Bahkan yang membuat aku sampai sekarang tidak akan lupa
dia sampai-sampai memblokir pertemanan di FB. Jika pada saat itu aku diberikan
kesempatan untuk menjelaskan, aku bukan mencintainya tapi aku hanya sebatas
mengaguminya ada banyak hal yang aku kagumi dari dirinya dan itu timbul seiring
dengan pertemanan yang terjadi. Peristiwa panjang dan melelahkan ini
berlangsung 1 tahun lebih dan peristiwa ini mengandung banyak pelajaran yang ku
dapat dan sakit hati yang entah kapan akan hilang akibat tingkah laku dan sifat
dia berkacamata hitam. Namun aku sadar itulah pertemanan yang tidak selalu
indah, tidak untuk disesali bahkan tidak akan terulang.
Semua itu mencair ketika kami duduk
di bangku kelas tiga semester 2, walaupun sulit untuk memaafkan tapi aku
mencoba untuk iklas. Dan aku mencoba untuk sadar bahwa tali silaturami harus
dijaga karena dialah aku berani bermimpi, dialah yang merubah pola pikirku
sehingga aku dapat menjadi lebih baik. Akhirnya pertemanan itu kembali seperti
semula di saat pengumuman kelulusan. Rasanya masa putih abu-abu sangat berwarna
karena dia, masa ini akhirnya berakhir indah. Indah karena kami mendapat
kelulusan 100 persen dan indah karena akhirnya aku mendapatkan kembali
pertemanan yang sempat rusak bahkan berangsur-angsur membaik. Aku bersyukur
karena aku di pertemukan dengan dia. dia yang banyak memberikan hal-hal positif
dan peristiwa yang berwarna dan di luar dugaan ku.
Dimana
pada putih abu-abu inilah aku mendapat banyak teman yang pengertian dan sayang
kepadaku. Bersenang-senang bersama dari makan bakso cinta, shoping, karokean
bahkan ngebolang bersama. Semua terasa indah dan bahagia. Di masa inilah aku
menyadari bahwa persahabatan adalah anugerah ilahi. Aku mendapat begitu banyak
hadiah ketika hari kelahiranku boneka dan diary berwarna merah bergambar hello
kitty . bahkan banyak lagi peristiwa indah lainnya.Saat seragam putih abu-abu
kini di tanggalkan kami sibuk mencari almamater baru sebagai tangga menggapai impian
dan cita-cita. Namun komunikasi di antara aku dan yang lainnya tetap terjaga
termasuk dengan dia. Dia yang dulu berbeda dengan yang sekarang, dulu dia
pendiam, aneh dan tidak mengerti tenteng berpakaian sekarang semua itu berubah
100 persen. Aku senang dengan perubahannya yang positif. Walaupun kami di
pisahkan jarak yang jauh namun kami selalu saling mendukung dan mendoakan satu
sama lainnya. Aku mendoakan dia dimana pun ia semoga selalu bahagia dan dapat
mengapai semua mimpinya termasuk duduk di perguruan tinggi impiannya. Aku menyadari
bahwa setiap manusia mempunyai jalannya sendiri, jalan yang tidak selamanya
lurus. Aku bangga melihatnya masuk di salah satu perguruan tinggi di kota
tetengga. Namun yang aku kagumi dari dia adalah sifat patang menyerahnya
sehingga ia mendapatkan hasil dari itu. dia salah satu orang yang keterima
sekolah tinggi negara yang saingannya ribuaan. Bangga dapat mejadi saksi
perjalanan hidupnya dan namun sayang aku tak dapat menghapuskan rasa kagum itu
kepada nya. Berbagai cara aku lakukan untuk tidak kagum bahkan berusaha untuk
membencinya namun hasilnya nol besar. Hanya kebingungan dan tanda tanya besar
yang ku dapat, binggung kenapa dia bersiakap ini dan itu, kenapa dia tidak bisa
memprilakukan aku seperti layaknya temannya kebanyakan, kenapa dia tidak memilih
untuk memarahi dan menegurku atas semua prilaku ku yang berlebihan, atau lebih
baik mungkin agar dia ngblokir pertemanan seperti dulu, kenapa ia selalu hadir
di saat dia mulai terlupakan, kenapa aku mengagumi orang yang sedingin, cuek
bahkan tidak bisa ditebak sepertinya, kenapa dia rela membiarkan aku menunggu
tanpa melihat kegigihan dan jeri payahku, mungkin karena aku tak pantas
bersamanya bahkan hanya untuk menjadi sahabatnya.
Seiring
berjalanya waktu dan seiring semua pertanyaan itu, kini dia telah menggapai
kesuksesannya dengan memakai toga dan almamater kebanggaannya. Dan itu
memperjelas semua keadaan ini, aku dan dia bagaikan kutub magnet yang
berlawanan dan tidak akan dapat menyatu. Aku akan teteap bertahan dengan semua
keadaan ini, menyerahkan semuanya kepada sang pencipta. Aku tidak akan lagi
berusaha untuk melupakannya karena semakin aku coba untuk melupakannya semakin
kuat juga ia dipikiranku. Aku akan berusaha mencari apa yang sebenarnya hatiku
rasakan dan ku mau. Aku akan belajar sabar dengan semua prilaku mu. Aku akan
berusaha ikhlas menerima hasil akhir cerita ini walaupun besar kemungkinannya
aku yang akan tersakiti setidaknya aku sudah berusaha. Yang pasti aku hanya
ingin melihat orang-orang di sekitarku termasuk dia bahagia dengan atau tanpa
aku.
Aku
akan menunggu semua jawaban itu dengan seiringnya bergulir waktu. Waktu dimana
aku tak tahu apakah kau akan tetap memegang teguh pendirian mu dan apakah kau
akan mengingat ku atau bahkan tidak sama sekali. Waktu dimana aku akan
membuktikan bahwa aku dapat membanggakan semua orang dengan berhasil menyusulmu
memakai toga kebanggaan dan meraih kesuksesan. Dimana disitulah aku di ambil
sumpah dan dikukuhkan sebagai tenaga kesehatan yaitu bidan dan bergelar amd
keb. Detik itulah akhir dari batas waktuku menunggu kejelasan dari cerita ini.
HUJAN PUN MENGERTI
Di bawah
hujan aku terdiam, tak kurasakan butiran air yang menerpaku. Tak kurasakan
dingin yang menyelimutiku, dan tak kudengar gemercik air yang jatuh.Datangnya
hujan tak mengusik lamunanku. Sudah 2 jam aku terduduk di halaman belakang
rumah, di bawah pohon rambutan. Aku kira, baru seminggu yang lalu aku bersama
seseorang yang selalu ada untukku dan yang selalu menemaniku saat tak ada yang
bersedia. Tapi sekarang semuanya sudah berubah. Dia sudah tak ada lagi di
sisiku. Dan aku tak bisa melihatnya. Masih terngiang kata-katanya yang terakhir
keluar dari mulutnya sepulang sekolah tempo lalu.
“Lupakan aku..” katanya.
“Kenapa Tih? Apa salahku?”
“Kamu nggak salah, justru aku yang salah. Salahku udah mencampuri kehidupanmu.”
“Tapi, kenapa hal itu jadi salah?” aku mencoba meminta penjelasan yang lebih bisa ku mengerti.
“Kita ini sahabat, dan kita hampir melampaui hubungan itu. Aku nggak mau jadi yang lebih buatmu. Aku udah cukup senang jadi sahabatmu. Dan aku juga nggak mau nyakitin perasaanmu. Selama ini aku ngerasa udah bikin kamu marah ke aku, itu pun karena sikapku. Aku nggak mau nyakitin perasaanmu lagi, kamu ngerti kan? Itulah yang menyebabkannya jadi salah.. maafin aku..”
“Kenapa Tih? Apa salahku?”
“Kamu nggak salah, justru aku yang salah. Salahku udah mencampuri kehidupanmu.”
“Tapi, kenapa hal itu jadi salah?” aku mencoba meminta penjelasan yang lebih bisa ku mengerti.
“Kita ini sahabat, dan kita hampir melampaui hubungan itu. Aku nggak mau jadi yang lebih buatmu. Aku udah cukup senang jadi sahabatmu. Dan aku juga nggak mau nyakitin perasaanmu. Selama ini aku ngerasa udah bikin kamu marah ke aku, itu pun karena sikapku. Aku nggak mau nyakitin perasaanmu lagi, kamu ngerti kan? Itulah yang menyebabkannya jadi salah.. maafin aku..”
Sakit hatiku mendengarnya. Tapi hal itu benar juga. Aku
memang sering sakit hati olehnya. Dan hal itu nggak masalah buatku. Selama aku
bisa komunikasi dengannya, aku nggak masalah berapa kali perasaanku terluka.
Yang terpenting bagiku, dia ada buatku.
“Zal..” dia memanggil namaku. “Kamu nggak apa-apa?”
sepertinya dia cemas melihatku yang terdiam.
“Udahlah, aku mau pulang. Terserahmu mau gimana. Kalau itu buat kamu senang, it’s okay.”
“Faizal!! Kamu nggak apa-apa kan?”
“Aku nggak apa-apa. Jaga dirimu.” jawabku datar.
“Yakin kamu nggak apa-apa?” pertanyaannya itu kujawab dengan lambaian tangan sambil berlalu. Terlalu pedih untukku menjawabnya.
“Udahlah, aku mau pulang. Terserahmu mau gimana. Kalau itu buat kamu senang, it’s okay.”
“Faizal!! Kamu nggak apa-apa kan?”
“Aku nggak apa-apa. Jaga dirimu.” jawabku datar.
“Yakin kamu nggak apa-apa?” pertanyaannya itu kujawab dengan lambaian tangan sambil berlalu. Terlalu pedih untukku menjawabnya.
Aku sayang
kamu, dan kamu sayang aku. Kita berdua akan jadi sahabat selamanya. Kata-kata
itu terus terngiang di benakku. Tapi apakah ini yang namanya sahabat?
Meninggalkan sahabatnya seorang diri? Atau mungkin aku yang salah? Atau mungkin
aku yang terlalu menganggapnya lebih?. Sejak itu, perlahan komunikasiku
dengannya terputus. Aku hanya bertemu di sekolah. Tapi dia selalu saja
menghindar tiap kali bertemu denganku. Aku tak mengerti kenapa dia sampai
seperti ini. Yang aku tahu, sekarang dia sudah pergi. Bukan lagi dia yang dulu.
Bukan lagi dia yang selalu ada buatku.
“Hai Zal! Siang-siang malah ngelamun.. di perpus lagi..”
“Oh kamu Gas, ngagetin aku aja..” ternyata Bagas, teman Ratih yang menyapaku.
“Hah? Ngagetin kamu? Dari tadi aku juga di depanmu kok.. kamu aja yang ngelamun.”
“Apa iya? Haha, maaf aku tak merasakan kehadiranmu..”
“Emangnya aku setan!!?”
“Lah kamu setan bukan?”
“Bukan.”
“Ya udah, jangan ngerasa. Hahahahah…”
“Sialan kau!! Oh iya, gimana kabarmu sama Ratih?”
“Jangan bahas dia di depanku.”
“Loh kenapa? Dia istrimu kan? Hahaha..”
“Mungkin, dulu iya. Tapi sekarang udah nggak.”
“Kenapa? Ada masalah?”
“Tanya sendiri sama dia! Aku males bahas dia! PUAS!?”
“Slow loh bung… kamu kalau marah ya boleh aja, tapi tolong dikontrol.. ya udah kalau kamu lagi pengin sendirian. Aku balik kelas dulu ya! Udah ada bu Malika.”
“Oh iya. Siap-siap adrenalinmu dipacu ya.. hahaha.” tapi Bagas sudah pergi, dan entah kenapa aku belum mau masuk ke kelas. Aku hanya terpaku di perpustakaan. Tempat favorit keduaku setelah kantin. Berdiam di pojokan sambil memegang novel Agatha Christie. Hanya memegang. Pikiranku entah kemana. Bahkan aku tak bisa memegang pikiranku sendiri.
“Oh kamu Gas, ngagetin aku aja..” ternyata Bagas, teman Ratih yang menyapaku.
“Hah? Ngagetin kamu? Dari tadi aku juga di depanmu kok.. kamu aja yang ngelamun.”
“Apa iya? Haha, maaf aku tak merasakan kehadiranmu..”
“Emangnya aku setan!!?”
“Lah kamu setan bukan?”
“Bukan.”
“Ya udah, jangan ngerasa. Hahahahah…”
“Sialan kau!! Oh iya, gimana kabarmu sama Ratih?”
“Jangan bahas dia di depanku.”
“Loh kenapa? Dia istrimu kan? Hahaha..”
“Mungkin, dulu iya. Tapi sekarang udah nggak.”
“Kenapa? Ada masalah?”
“Tanya sendiri sama dia! Aku males bahas dia! PUAS!?”
“Slow loh bung… kamu kalau marah ya boleh aja, tapi tolong dikontrol.. ya udah kalau kamu lagi pengin sendirian. Aku balik kelas dulu ya! Udah ada bu Malika.”
“Oh iya. Siap-siap adrenalinmu dipacu ya.. hahaha.” tapi Bagas sudah pergi, dan entah kenapa aku belum mau masuk ke kelas. Aku hanya terpaku di perpustakaan. Tempat favorit keduaku setelah kantin. Berdiam di pojokan sambil memegang novel Agatha Christie. Hanya memegang. Pikiranku entah kemana. Bahkan aku tak bisa memegang pikiranku sendiri.
Itu ingatanku yang dulu, sekarang sudah jauh berbeda.
Saat dia berkata begitu, hujan turun seolah menggambarkan perasaanku saat itu.
Dan kini, saat kucoba tuk mengingatnya lagi, hujan kembali turun. Aku tak
merasakan dinginnya, tak menggigil karenanya, tapi terasa hangat menyentuh kulitku.Sejenak
aku tersenyum membayangkan, apakah hujan mengerti perasaanku? Seandainya ia
punya kemampuan untuk bicara, mungkinkah ia akan menghiburku? Bagaimana suaranya?
Ataukah sekarang ia sedang berusaha menghiburku dengan memberiku kehangatan
hujan?
Semakin lama aku coba untuk melupakannya, membuangnya
dari ingatanku, semakin aku tak bisa. Aku tak tahu apa yang aku pikirkan. Dan
aku tak bisa mengosongkan pikiranku. Ratih, Ratih, Ratih dan Ratih. Hanya nama
itu yang terlintas dan berhenti di kepalaku.Mungkinkah aku merindukannya? Tapi
sepertinya dia tak merindukanku. Terbukti dari seminggu yang lalu, handphone ku
sama sekali tak bertuliskan namanya. Biasanya, dia selalu menghubungiku. Entah
itu menanyakan kabar, menanyakan aktifitasku, atau hanya sekedar membuang
bonusan. Tapi sekarang ku matikan. Dan aku tak berniat menyentuhnya.
Apa yang aku lakukan? Harusnya aku nggak kayak gini.
Nggak masalah kalau dia jauhi aku. Tapi se-nggaknya, aku nggak njauhi dia! Aku
nggak mau balas dendam cuma karena masalah kayak gini! Aku harus hubungi dia.
Sekarang!! Aku bangkit dari dudukku. Hujan sudah agak reda. Cepat-cepat aku
meraih handphone-ku yang 3 hari ini tergeletak sendirian di laci lemariku. Aku
nyalakan dan tak kusangka, ada puluhan sms dari Ratih yang masuk sekitar 1 jam
yang lalu. Semua isinya menanyakan kabarku, dan permintaan maafnya.
Tanpa membuang waktu lagi, aku telpon dia.
5 menit berlalu dan tidak ada jawaban darinya. Atau
mungkin dia marah? Pikirku. Akhirnya setelah 30 menit menunggu, terdengar
jawaban juga..
Halo? Ratihnya ada?
Ya saya sendiri. Siapa ya?
Temenmu..
Ya siapa?
Faizal. Hehehe, gimana kabar Tih?
Ya saya sendiri. Siapa ya?
Temenmu..
Ya siapa?
Faizal. Hehehe, gimana kabar Tih?
Mulai dari situ, aku mencoba untuk memperbaiki hubunganku
dengannya. Aku minta maaf padanya, dia juga minta maaf padaku. Sangat lama kami
berbicara. Menceritakan hal-hal yang lucu, tertawa bersama, dan mengenang masa
lalu. Dalam hati aku berpikir…Aku nggak mau hubungan kita lebih dari ini.
Sebatas ini saja sudah cukup bagiku. Meskipun kita nggak pacaran, tapi kita ini
sahabat. Dan kata “sahabat” berlaku selamanya. Mungkin kalau dulu kita pacaran,
kita nggak bisa kelihatan kaya berteman. Tapi kalau kita berteman, mungkin kita
bisa keliatan kaya pacaran. Saat itu aku melihat keluar. Hujan sudah berhenti.
Matahari bersinar dengan terang. Di langit terlihat pelangi. Agaknya, hujan
mengerti perasaanku.
0 komentar:
Posting Komentar